Show Yourself : Perlunya Personal Branding di Era Digital oleh Miratun Hasanah, S.Psi., Psi

Show Yourself: Perlunya Personal Branding di Era Digital

Miratun Hasanah, S.Psi., Psi.

(Psikolog RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta)

Dewasa ini, perkembangan akses teknologi memberikan manfaat untuk keberlangsungan karir dan pekerjaan kita, salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi untuk membangun atau mempromosikan diri (personal branding). Kita pasti sudah familiar dengan tokoh-tokoh yang kita kagumi, baik dengan latar pekerjaan sebagai pemain film, pemain sinetron, jurnalis, penulis buku, hingga tokoh-tokoh pemerintah yang mendayagunakan kemampuan personal branding untuk membagikan inspirasi dan karya. Pemanfaatan personal branding ini juga dinilai efektif dalam pengembangan pekerjaan. Figurska (2016) menyatakan bahwa personal branding menjadi alat untuk mencapai tujuan profesional.

Personal branding atau bisa diterjemahkan sebagai “merk pribadi” yang merupakan sintesis dari semua harapan, gambaran, dan persepsi yan tercipta di benak orang lain ketika melihat atau mendengar nama seseorang (Rampersad, 2008). Sebetulnya, setiap hari kita membangun suatu brand dari diri kita melalui interaksi sosial. Brand ini diharapkan dapat membawa manfaat (nilai) terhadap semua pihak, dengan memikat dan membangun kepercayaan orang lain terhadap kita.

Personal branding sebetulnya merupakan konsep yang berakar dari presentasi diri (self-presentantion) (Goffman, 1959). Sama halnya dengan pengertian personal branding yang telah dibahas di atas, presentasi diri juga merupakan mekanisme yang memungkinkan individu untuk menyebarkan informasi dalam rangka memengaruhi persepsi orang lain. Terlebih pada era digital sekarang ini, hal tersebut digunakan untuk membangun impresi di dunia virtual (Schau & Gilly, 2003). Salah satu hal yang dapat dimanfaatkan dari personal branding adalah pada bidang karir. Johnson (2017) menyatakan bahwa sebagian besar human resources di perusahaan  mempertimbangkan untuk mengamati kandidat pekerja melalui sosial media. Informasi mengenai kualifikasi pekerjaan, ketrampilan dan kemampuan kandidat secara positif memengaruhi proses seleksi, yang bisa dilihat dari bagaimana foto-foto yang ditampilkan, prestasi, keahlian, pergaulan, maupun gaya komentar yang biasa dilakukan.

Bagaimana membentuk personal branding?

Montoya dan Vandehey (2008) menjelaskan perlunya elemen-elemen yang harus dibangun dan terintegrasi untuk membentuk personal branding, antara lain: You, Promise, dan Relationship. You, merupakan diri kita sendiri yang dibentuk dengan menganalisis siapa saya dan spesialisasi kemampuan yang dimiliki. Hal ini akan mencerminkan nilai-nilai, kepribadian, kualitas, dan keahlian kita. Elemen yang kedua adalah Promise, merupakan janji atau tanggung jawab untuk memenuhi harapan orang lain terhadap brand yang kita bangun. Relationship, merupakan elemen yang membuat brand kita akan dikenal. Selain itu, personal branding yang baik dapat menciptakan relasi-relasi yang lebih luas karena orang lain akan semakin mengenal atribut-atribut kita.

McNally dan Spak (2012) menjelaskan tiga hal yang harus diperhatikan dalam membentuk personal branding, antara lain: kekhasan, relevansi, dan konsistensi. Kekhasan menjadi cerminan ide atau karakter khas dari diri kita. Hal inilah yang membuat orang mudah untuk mengenali dan menilai kita. Kekhasan dapat dibentuk pada berbagai karakter tampak, seperti gaya berpakaian, gaya bicara, spesialisasi minat, dan sebagainya yang membentuk ciri unik dan mudah dikenali. Relevansi, merupakan aspek yang memerhatikan keterhubungan antara kompetensi yang dimiliki dan kebutuhan orang lain atau masyarakat. Personal branding juga perlu memerhatikan sasaran dan tempat supaya kontribusi kita betu-betul dapat bermanfaat. Aspek ketiga adalah konsistensi, yang dirancang terus-menerus sehingga orang lain dapat mengenal betul profil kita, terutama apabila kita juga menghasilkan produk yang dinikmati konsumen secara komersil.

Selain ketiga hal tersebut, Montoya (2002) merumuskan delapan acuan yang dapat digunakan dalam membangun personal branding, meliputi:

  1. Spesialisasi (the law of specialization), merupakan konsentrasi terhadap satu kekuatan, keahlian, atau pencapaian tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan merumuskan visi dan prinsip-prinsip strategis, memiliki kemampuan kepemimpinan, melakukan perjalanan untuk memperluas relasi, menciptakan lapangan pekerjaan, melakukan tugas keprofesian khusus, atau pekerjaan di bidang pelayanan.
  2. Kepemimpinan (the law of leadership), dapat dibentuk karena kekuatan individu untuk memengaruhi (to influence) berdasarkan spesialisasi yang dimilikinya. Pekerjaan yang melibatkan suatu sistem atau keorganisasian tentu membutuhkan pemimpin. Individu yang cakap dengan kemampuan kepemimpinan biasanya dipilih berdasarkan keunggulan yang dipersepsikan kelompok.
  3. Kepribadian (the law of personality), bukan berarti individu harus terlihat sempurna, melainkan menunjukkan apa adanya dirinya beserta karakteristik kepribadian dalam berbagai aspek.
  4. Perbedaan (the law of distinctiveness). Sebagaimana diferensiasi yang ditentukan dalam pembuatan brand produk, individu juga perlu memberikan kesan ‘berbeda’.
  5. Terlihat (the law of visibility). Personal branding harus dilaksanakan konsisten dan terus menerus. Oleh karena itu, perlu untuk aktif mempromosikan diri dalam berbagai kesempatan.
  6. Kesatuan (the law of unity). Kehidupan pribadi di balik personal branding harus sejalan karakteristik, etika, dan sikap yang dibentuk pada brand itu sendiri.
  7. Keteguhan (the law of persistence). Setiap personal branding yang dibangun memerlukan waktu dan proses, sehingga perlu sekali untuk memerhatikan setiap tahapannya.
  8. Nama baik (the law of goodwill). Apabila ingin personal branding tersebut memberikan hasil, kebermanfaatan, dan jangka waktu yang lama, maka harus diasosiasikan dengan nilai-nilai postif, terutama yang mampu menginspirasi orang lain.

Strategi personal branding di era digital

Strategi utama yang harus dimiliki dalam membentuk personal branding adalah self-awareness (kesadaran diri) (Johnson, 2011). Kesadaran diri inilah yang merepresentasikan kapasitas yang menjadi objek perhatian seseorang, dengan aktif untuk mengidentifikasi, memproses, dan memahami informasi tentang diri (Morin, 2011). Salah satu metode yang dapat digunakan adalah analisis S.W.O.T. Analisis ini akan membantu individu untuk mengidentifikasi kekuaran (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Pemetaan ini berguna untuk mengetahui sejauh mana potensi yang kita miliki, termasuk keunikan dan kekhasan kita, serta aspek-aspek lain yang dibutuhkan dalam personal branding. Metode tersebut adalah salah satu cara untuk mengenali diri. Kenapa hal ini penting diperhatikan? Mengenali diri akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang akan kita branding, sehingga keinginan untuk menginformasikan ke publik mengenai siapa kita, tidak semata-mata mengikuti orang lain, sehingga personal branding kita bersifat otentik.

Hal kedua yang harus diperhatikan adalah personal branding statement (Johnson, 2011), yang menunjukkan perbedaan diri kita dari orang-orang pada umumnya. Strategi ini dapat dilakukan dengan memetakan apa yang kita lakukan (pekerjaan), bagaimana kita melakukan itu, dan mengapa orang lain harus peduli atau mengapa harus memanfaatkan potensi yang kita tawarkan. Hal ini biasanya dapat mempermudah untuk mengenali kemampuan kunci dan kandidat potensial apabila dimanfaatkan untuk melamar pekerjaan.

Setelah mengetahui “konten” di atas, hal yang perlu diperhatikan adalah media yang akan digunakan. Hal ini berkaitan juga dengan sasaran audience yang akan kita tuju. Setiap media sosial mempunyai karakteristik fasilitas dan karakteristik penggunanya masing-masing. Penyebaran informasi sekarang juga dapat dilakukan secara terintegrasi, misalnya melalui LinkedIn, twitter, instagram, facebook, dan lainnya. Pemilihan media sosial ini tentu saja dilakukan berdasarkan kebutuhan kita. Dan selanjutnya, setelah mempersiapkan informasi yang ingin kita tawarkan dan media yang akan digunakan, langkah selanjutnya adalah menerapkan acuan-acuan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya.

Dampak psikologis dari personal branding: sebuah dilemmaShow Yourself Perlunya Personal Branding di Era Digital oleh Miratun Hasanah, S.Psi., Psi

Pincott (2019) menulis beberapa hal yang harus diperhatikan dalam personal branding. Seseorang yang intens menggunakan media sosial cenderung menyiarkan hal-hal baik tentang diri baik melalui Facebook, Twitter, LinkedIn, Instagram, Snapchat, dan platform lainnya. Mempertahankan identitas di media sosial ternyata bisa berdampak buruk, bahkan untuk orang-orang yang memang bukan influencer. Konsekuensi negative yang dapat menyertai, seperti kecenderungan untuk menitikberatkan kebutuhan akan likes, followers, dan penilaian orang lain tentang diri kita. Oleh karena itu, Pincott merumuskan beberapa pertimbangan personal branding dengan media sosial.

Pertama, pahami bahwa kita bukan manusia online. Identitas yang kita tampilkan di media sosial tentu tidak seluruhnya memproyeksikan diri kita yang sebenarnya. Perlu sekali ruang untuk mengeksplorasi diri kita. Selain berfokus pada penggunaan media sosial, maka alangkah baiknya lebih banyak untuk mengeksplorasi dunia nyata. Kedua, letakkan FOPO pada tempatnya. FOPO adalah fear of people’s opinion atau ketakutan pada opini orang lain. Hal ini dapat dicegah dengan berfokus pada tujuan yang lebih tinggi daripada validasi publik, yang dapat dilakukan tidak hanya mempromosikan diri kita, namun juga membagikan kisah yang dapat dijadikan pelajaran orang lain atau hal-hal yang bersifat edukatif. Pada akhirnya, shaping of people’s opinion (SOPO) atau pembentukan opini masyarakat menjadi lebih kuat daripada FOPO.

Ketiga, hentikan dorongan untuk membandingkan. Apabila di dunia nyata kita kadang tidak sadar membandingkan diri dengan orang lain, maka di media sosial kita dapat mengetahuinya karena setiap platform menyediakan metrik seperti penyuka, pengikut, tweet, retweet, penayangan, pelanggan, berbagi (share), dan sebagainya secara real-time. Konsekuensi dari metik ini adalah upaya kita untuk selalu membandingkan diri dengan pengguna media sosial yang mempunyai pencapaian metrik lebih besar, dan hal ini berdampak pada masalah psikologis. Selain perbandingan ke atas, perbandingan ke bawah juga menimbulkan kecenderungan merasa lebih baik atau lebih unggul. Untuk mengatasi hal ini, kita harus melatih awareness untuk tidak berpikir secara otomatis dan tidak membiarkan alogaritma metric tersebut menentukan harga diri kita.

Pada akhirnya, apapun yang kita bagikan di media sosial tetap harus mempertimbangkan motif psikologis yang mendasari dan tujuan untuk mempromosikan diri. Buatlah “penjualan” atau promosi kita lebih menitikberatkan pada berbagi “sharing” tentunya dengan memerhatikan konten-konten seperti apa yang kita bagikan dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Terakhir, lebih banyak memberi daripada menerima. Dalam hal ini, pertimbangan yang bisa direnungkan adalah bukan hanya pada bagaimana orang lain menyukai diri kita, namun juga bagaimana kita menyukai karya orang lain.

Referensi

Figurska, Irena. (2016). Personal Branding as an Element of Employee’s Professional Development. Human Resources Management and Ergonomics, Vol. X.

Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. New York, NY: Penguin books.

Johnson, Katryna M. (2017). The Importance of Personal Branding in Social Media:  Educating Students to Create and Manage their Personal Brand. International Journal of Education and Social Sciences, 4(1), 21-27.

McNally, D., & Speak, K. D. (2002). Be Your Own Brand: Achieve More of What You Want by Being More of Who You Are. San Francisco: Berrett-Koehler Publishers.

Montoya, P. & Vandehey, T. (2008). The Brand Called You: Make Your Bussiness Stand Out in a Crowded Market Place. USA: McGraw-Hill.

Montoya, P. (2002). The Personal Branding Phenomenon: Realize Greater Influence, Explosive Income Growth and Rapid Career Advancement by Applying the Branding Techniques of Michael, Martha & Oprah. USA: Peter Montoya Incorporated.

Morin, Alein. (2011). Self-Awareness Part 1: Definition, Measures, Effects, Functions, and Antecedents. Social and Personality Psychology Compass 5(10), 807–823.

Pincott, Jena E. (2019). How to Brand Yourself the Right Way. Retrieved from

https://www.psychologytoday.com/us/articles/201910/how-brand-yourself-the-right-way.

Rampersad, Hubert K. (2008). A New Blueprint for Powerful and Authentic Personal Branding. Performance Improvement, 47 (6), 34-37.

Schau, H. J. & Gilly, M.C. (2003).  We are what we post?  Self-presentation in personal web space. Journal of Consumer Research, 30(3) 385-404.

Show Yourself Perlunya Personal Branding di Era Digital oleh Miratun Hasanah, S.Psi., Psi

Mungkin Anda juga menyukai